Minggu, 29 Juni 2014

softskill

Bank Indonesia (BI) menilai faktor kebiasaan dan ketidakpahaman pengusaha membuat kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri terabaikan. Di sisi lain, sanksi pidana atas pelanggaran kewajiban tersebut seperti tercantum dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang juga belum ditegakkan.

"Itu membuat permintaan terhadap Dolar yang sebenarnya tidak perlu. Tapi karena cukup lama dilakukan dengan Dolar mungkin juga pelaku industri belum paham tentang UU Mata Uang 2011," kata Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, di Kantornya, Jakarta, Jumat (27/6).

Atas dasar itu, tegasnya, bank sentral dan pemerintah bakal berkolaborasi melakukan sosialisasi kewajiban penggunaan Rupiah. "Karena ada sanksi pidananya, sekarang kita sosialisasikan lagi."

Mirza menjelaskan, beleid tersebut mewajibkan semua transaksi di dalam negeri, baik tunai maupun non-tunai harus dilakukan dalam Rupiah. Namun, faktanya masih banyak transaksi komersial, semisal sewa properti, jual-beli gas, dan pelayanan pelabuhan, menggunakan USD.

"Padahal itu bukan transaksi perdagangan internasional, seperti pembayaran utang luar negeri, tapi kenapa harus dilakukan dalam dolar?" kata Mirza.

Terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung meminta transaksi keuangan di kawasan pelabuhan menggunakan Rupiah. Untuk itu, pemerintah akan melakukan sosialisasi beleid mata uang dalam tiga bulan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar